Ulaon Marunjuk Dalam Masyarakat Batak Toba

ULAON MARUNJUK DALAM MASYARAKAT ADAT BATAK TOBA

Ulaon Marunjuk Dalam Masyarakat Batak Toba
Ulaon Marunjuk, Vergouwen , 1933


Menurut kamus bahasa Batak, Ulaon memiliki arti yaitu pesta. Marunjuk memiliki arti yaitu upacara pelaksanaan pesta adat budaya Batak, (Kamus Batak Online, n.d.). Pernikahan menggunakan adat Batak Toba ada beberapa tahap yang dilaksakan menggunakan tahap Ulaon (pesta) yang dilaksanakan secara turun temurun sesuai aturan dan hukum adat, yaitu Ulaon Martumpol (Pesta pertunangan di Gereja), Ulaon Pamasu-masuon (Pesta pemberkatan pernikahan di Gereja) dan Ulaon Marunjuk (pesta adat). 

Ulaon Marunjuk adalah Upacara pelaksanaan pesta adat pernikahan yang dilaksanakan di wisma atau gedung serbaguna. Pada tahap Ini penyerahan mas kawin secara resmi berlangsung. Paranak (pihak mempelai laki-laki) menyebut peristiwa ini dengan  marunjuk  dan dia sendiri disebut parunjuk. Hula-hula (keluarga marga istri, mulai dari keluarga marga ibu (istri bapak), keluarga marga istri opung, dan beberapa generasi) akan menerima maskawin (parunjuhan) dan maskawin itu sendiri disebut niunjuk. Unsur terpenting dari Parunjuhan adalah persembahan daging dan nasi yang sudah dimasak oleh paranak kepada parboru. 

Menurut Toni Radjagoekgoek. pernikahan adat Batak toba Tahap Ulaon Marunjuk adalah dua tahap yang paling penting karena merupakan tahap yang menjadi penentu resmi nya sebuah pernikahan di hadapan Tuhan, hukum negara (catatan sipil) dan diahadapan adat. Seluruh rangkaian adat pernikahan mulai dari tahap Mangaririt (pemuda mulai mencari pendamping) hingga tahap Ulaon Marunjuk pada akhirnya akan dianggap resmi oleh keluarga, kerabat dan lingkungan apalabila telah melakasanakan pemberkatan pernikahan di Gereja (Ulaon Pamasumasuon) dan telah melaksanakan pesta adat (Ulaon Marunjuk).
Pernikahan adat Batak Toba memiliki tahapan yang sangat berbeda dengan suku Batak  lainnya. Karena pada  dasarnya setiap suku Batak memiliki tata cara nya masing-masing yang berbeda satu dengan yang lainnya.

Pernikahan dengan menggunakan adat Batak Toba merupakan suatu yang sakral dan penting bagi masyarakat Batak Toba. Perlu diketahui bahwa pernikahan menggunakan adat Batak Toba bersifat eksogami (pernikahan di luar kelompok suku tertentu) dimana laki-laki tidak akan mengambil istri dari kalangan kelompok nya sendiri dan perempuan harus meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok suami. Pernikahan adat Batak Toba pada hakikatnya bersifat patrilinear dengan tujuan untuk melestarikan galur suami di dalam garis lelaki. Berdasarkan hokum adat ia tetap masuk ke dalam kelompok kerabat tetapi hak tanah, milik, nama dan jabatan hanya dapat diwarisi oleh garis laki-laki, 

---Tata Cara Pernikahan Adat Batak TobaTahap Ulaon Marunjuk ---

Dalam pernikahan adat Batak toba tahap ulaon marunjuk ini pada garis besarnya memiliki proses yang cukup Panjang. Pihak paranak akan memotong seekor babi yang agak kecil dan kemudian memasukannya bersama nasi ke dalam ampang (bakul). Makanan inilah yang disebut dengan sibuhai-buhai (pembuka acara). Kemudian pihak paranak membawa makanan tersebut kepada pihak parboru oleh sihuti ampang (boru dari pihak paranak yang membawa makanan tersebut). Sihuti ampang ini akan menerima selebar kain ulos atau sejumlah uang tutup ni ampang (penutup). Pagi hari sekitar pukul 08.00 pagi rombongan paranak datang untuk menjemput mempelai wanita dengan membawa tanda makanan adat sangsang (pinahan lobu atau babi atau kerbau) dan pihak parboru menyediakan dengke (ikan mas), sebagai tanda permulaan mamuhai partondongan (ikatan kekerabatan).

Ketika pihak paranak tiba di tempat parboru, makanan yang telah disiapkan tersebut kemudian langsung dipersembahkan kepada pihak parboru dan calon istrinya. Dengan diterimanya persembahan makanan sibuhai-buhai oleh pihak parboru menjadi pertanda bagi semua yang hadir bahwa perundingan yang dilakukan sebelum tahap ulaon parmasumasuon dan marunjuk sudah disetujui dan kemudian ualon parmasumasuon (pemberkatan di Gereja) dan juga  ulaon marunjuk (pesta adat) dapat diteruskan. Proses pesembahan makanan sibuhai-buhai kepada parboru ini juga menjadi pertanda penghormatan resmi dari pihak paranak kepada parboru agar pihak parboru dapat menyerahkan anak perempuan (calon mempelai perempuan) kepada paranak (pihak calon mempelai laki-laki). Dan juga secara resmi paranak masuk ke dalam hubungan boru dengan hula-hula (Keluarga pihak ibu dari kedua mempelai perempuan) yang baru.  Bukti penghormatan ini diungkapkan melalui tindakan manulangi (menyuapi makanan sibuhai-buhai yang telah disiapkan dengan tangan secara langsung), yaitu dimana pihak paranak mengutus salah satu orang yang ditugaskan untuk menjadi paisulang (utusan untuk menyuapi makanan). Orang pertama yang akan disuapi adalah istri dari pihak parboru, kemudian disusul oleh parboru itu sendiri.

Setelah melakukan proses manulangi orang tua dari mempelai perempuan juga mengambil sedikit makanan dan sisanya diberikan kepada yang berhak berdasarkan  partonding ni partubu (tingkat kekerabatan) dan  tohonan (peringkat kedudukan). Setelah proses manulangi, seluruh keluarga pun makan pagi bersama, dan setelahnya orang tua parboru memimpin doa memberangkatkan pengantin ke Gereja untuk pemberkatan.

Pemberkatan dilakukan di Gereja yang telah ditentukan sebelumnya dalam rancangan pernikahan. Dalam beberapa acara, sebelum acara pemberkatan dimulai biasanya dilakukan pencatatan sipil di tempat, dengan alasan untuk menghemat waktu. Setelah pemberkatan pernikahan selesai, seluruh keluarga berangkat menuju gedung tempat pesta adat marunjuk. Prosesi dilanjutkan dengan tahap ulaon marunjuk yang biasanya dilaksankan di Gedung serba guna tidak jauh dari gereja tempat pemberkatan. Setelah mempelai dan keluarga kedua pihak telah tiba dalam gedung, kedua belah pihak  mempelai saling menyerahkan namargoar (tanda makanan adat). Paranak menyerahkan tudu-tudu ni sipanganon (pinahan lobu atau babi atau kerbau utuh yang telah dipotong dan disusun menjadi beberapa bagian tertentu). Parboru juga menyerahkan dengke simudur-mudur (ikan mas). Setelah proses tukar-menukar makanan adat yang telah dipersiapkan kedua belah pihak mempelai selesai, kemudian dilanjutkan dengan proses makan bersama yang di buka dengan doa makan. 

Kemudian setelah makan bersama, kedua pihak mempelai yaitu paranak dan parboru saling sepakat tentang pembagian Namar goar atau jambar juhut (tanda makanan adat) yang berasal dari tudu ni sipanganon yang dibawa kedua mempelai dan telah saling ditukar ketika di awal memasuki Gedung. Pada tahap ini setiap potongan daging akan dibagi-bagi sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Pihak parboru yang mendapat juhut (daging) dari paranak lalu membagi-bagikan daging kepada dongan tubu (saudara lahir) dan dongan sahuta (saudara satu kampung), pangula ni huria (teman pelayanan satu Gereja). Pihak paranak yang mendapat dengke (ikan mas) dari pihak parboru lalu membagi-bagikan ikan kepada dongan tubu (saudara lahir), boru (anak perempuan atau saudara perempuan), bere (saudara laki-laki) dan dongan sahuta (saudara satu kampung), pangula ni huria (teman pelayanan satu Gereja). Dalam skala pesta pernikahan yang lebih besar dari orang-orang kaya dan terkemuka, paranak sebagai panjuhuti (pihak yang menjamu dengan daging) harus menyediakan seekor kerbau untuk jamuan Bersama. Sumbangan untuk pesta ini disebut taragu (daging yang dimakan pada upacara pelaksanaan pesta adat pernikahan), pihak parboru  menyebut upacara itu dengan mangan juhut (makan daging dari pesat adat). Sedangkan lembu yang disediakan parboru untuk makanan paranak dan seluruh kerabatnya disebut sila (daging yang dibawa oleh pihak keluarga mempelai perempuan pada acara penyerahan uang mahar pada pesta adat pernikahan. Daging kerbau yang dibawa pihak paranak dan diberikan kepada perboru kedua hidangan yang masing-masing dibawa paranak dan parboru tersbut diletakan diatas meja dihadapan para tamu yang duduk dalam dua kelompok dan saling berhadapandan.

Kemudian kedua daging tersebut akan dibagi-bagikan sesuai dengan aturan siapa yang berhak mendapatkan setiap bagian daging mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki.   Setelah prosesi pembagian namargoar atau jambar juhut (berkat daging), dilanjutkan dengan parsaut ni sipangaron (pernyataan kesimpulan jamuan) dimana pertanyaan utama diajukan yaitu apa yang menjadi tujuan dari pesta (haroan). Dan kemudian jawaban diberikan melalui proses selanjutnya yaitu marhata lapik (pembicaraan di atas tikar) sedangkan di era modern saat ini dilakukan di dalam gedung serbaguna dan duduk diatas kursi kayu dan disediakan meja panjang. Tahap  ulaon marunjuk yang sesunggunya pun dimulai.  Dimulai dengan panungkunan (orang tempat bertanya) yang merupakan kerabat jauh dari parboru yang memberikan pidato yang dibumbui dengan banyak perumpamaan yang berkaitan dengan pelaksanaan pernikahan. Panungkunan juga bertanya tentang pelbagai pembayaran yang sudah dijanjikan oleh paranak, serta apa yang harus ditetpkan dan harus dilaksakan lagi. Panungkunan  juga akan menerima upa manungkun (bayaran atau ganjaran karena telah mengajukan pertanyaan).

Prosesi selanjutnya yaitu pihak paranak mengumpulkan sumbangan gugu dan tumpak (sumbangan) dari semua kerabat yang diundang. Setelah seluruh tamu menyerahkan tumpak, kemudian mempelai perempuan akan manjomput (menjemput) sumbangan yang terkumpul untuk dirinya dan selebihnya akan diserahkan kepada orang tua dari pihak paranak. Kemudian prosesi dilanjutkan dengan proses penyerahan Sinamot (maskawin) dari pihak paranak ke parboru sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam tahap marhusip (perundingan) dan tahap selanjutnya. Sinamot  dihitung terlebih dahulu oleh parhata (juru bicara) paranak, lalu oleh parhata pihak parboru, kemudian diserahkan pada ibu pengantin perempuan  dan sinamot diterima di atas kain ulos yang terbuka. Kemudian kedua belah pihak keluarga saling berkenalan dengan beberapa prosesi adat seperti pemberian panandaion dari keluarga paranak pada keluarga parboru. 

Kemudian jambar na gok (bagian yang penuh) diumumkan secara terbuka bersamaan dengan pemeritahuan tentang apa yang sudah dipenuhi dan apa yang masih perlu dibayarkan. Jika ada yang belom dilunasi, maka dapat dibayarkan di tempat pada saat itu juga. Parboru  menunjuk kepada parsiuk (masakan ikan mas semarga dengan pihak orang tua dari perempuan) yang harus mendapatkan upah tersediri, karena mereka telah memberikan sumbangan pada acara jamuan. Parboru juga kemudian memberikan informasi kepada pihak paranak tentang siapa saja dari pihak kerabat parboru yang berhak dan tidak berhak mendapatkan jambar na gok (bagian yang penuh). Namun setiap sanak dan kerabat yang dianggap tidak berhak mendapatkan pemberian itu dapat membujuk paranak untuk bisa mendapatkan sedikit banyaknya berdasarkan jauh dekatnya kekerabatan. Biasanya mereka akan membujuk untuk mendapat bagian yang sebanyak mungkin kepada paranak, sedangkan pihak lain akan menentang permintaan yang terlalu tinggi tersebut. Pihak paranak akan mencoba menolak secara halus sehingga setelah melalui proses perbincangan yang cukup Panjang akhirnya mereka akan mendapatkan jumlah yang cukup kecil dan sesuai dengan pertalia kerabat mereka dengan ayah dari mempelai perempuan. Semua pemberian tersebut belum termasuk ke dalam mas kawin dan disebut dengan na muhut (yang tidak berharga) atau dengan kata lain disebut dengan tetek bengek (masalah yang kecil atau remeh).

Semua pemberian ini tetap dihitung masuk ke dalam pembayaran perkawinan dari pihak paranak  kepada pihak parboru dan apabila terjadi perceraian maka pihak parboru harus membayar kembali seluruh pembayaran perkawinan yang telah diberikan paranak. Parboru juga harus membayar kembali seluruh jambar na gok (bagian yang penuh). Jika pihak parboru  tidak dapat mengganti seluruh pembayaran pernikahan tersebut maka ketika mempelai perempuan nanti menikah lagi ia tidak akan mendapatkan apa-apa lagi. Setelah selesai proses pembayaran perkawinan oleh pihak paranak maka akan dilakukan proses pembayaran ragi-ragi (pemberian imbalan).

Pihak parboru akan menyerahkan ulos herbang (kain tenun khas batak yang dilebarkan atau di gelar) sesuai kesepakatan dalam marhusip (perundingan tentang pelaksanaan adat yang akan dilaksanakan oleh kedua pihak mempelai), diawali dengan pemberian ulos passamot dan ulos hela. Ulos Passamot diberikan orang tua mempelai perempuan ke orang tua mempelai laki-laki dengan makna agar dapat mengumpulkan berkat sebanyak-banyaknya. Sedangkan Ulos Hela diberikan orang tua mempelai perempuan kepada kedua pasang mempelai agar mereka bersatu sepanjang masa. Selain ulos hela, adapula Mandar (sarung) yang diberikan kepada mempelai laki-laki untuk dipakai bekerja jika keluarga mempelai perempuan mengadakan pesta. Kemudian orang tua parboru menabur beras (sipir ni tondi) di kepala kedua mempelai sebanyak tiga kali agar selalu sehat, kuat menghadapi berbagai permasalahan rumah tangga.

Kain ulos herbang juga diberikan kepada ayah dan ibu dari mempelai laki-laki dan dengan gerak tangan yang melambangkan perlindungan dan diiringi dengan kata-kata yang sesuai. Kain ulos  yang diberikan kepada ayah dari mempelai laki-laki disebut dengan ulos pansamot (kain yang diberikan kepada yang membayarkan mas kawin), dan kain ulos yang diberikan kepada ibu dari mempelai laki-laki disebut dengan ulos pangidupi (yang diberikan kepada dia yang melahirkan anak laki-laki). Pemberian kain ulos ini adalah sebagain tambahan dari jumlah uang yang sudah disepakati dan kadang kala sudah dikurangi dari upa suhut (upah tuan rumah atau penyelenggara pesta). Jika pernikahan dilaksakan di kampung dari salah satu mempelai, maka ada juga pemberian kain ulos sebagai tanda penghormatan kepada kepala kampung dari pihak paranak dan disebut dengan ulos ni raja (kain tenun khas batak para raja). Proses pembayaran perkawinan ini terus menerus dilakukan selama prosesi pesta adat (marunjuk)  ini berlangsung. Proses mengawinkan puteri sering dianggap sebagai suatu transaksi yang menguntungkan namun pada kenyataanya sering tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini karena pada saat pesta adat marunjuk pihak dari paranak mengeluarkan uang terus menerus dari kanotngnya dalam jumlah yang banyak karena juga banyaknya tumpak (dukungan atau bantuan) yang dia terima yang harus dibalaskan. Maka dari itu pihak parboru juga harus mengeluarkan jumlah yang hampir sama dengan yang diterimanya sebagai upa suhut (upa tuan rumah atau penyelanggara pesta) untuk menjamu tamu-tamu dan juga unutk ongkos pemberian imbalan dan tidak termasuk ke dalam hitungan pauseang (harta bawaan) yang akan diterima mempelai perempuan.

Kemudian prosesi masih terus berlanjut dengan proses Mangulosi, yaitu pemberian kain ulos herbang dari kerabat atau keluarga yang berhak dan sudah ditentukan dalam aturan dan pembicaraan pernikahan. Kedua mempelai akan duduk berdampingan di pelaminan dengan posisi kedua tangan dirapatkan seperti sedang berterimkasih untuk kemudian menerima pemberian ulos herbang atau berkat dari seluruh kerabat atau keluarga yang telah ditentukan. Prosesi mangulosi ini biasanya adalah prosesi terakhir dari seluruh rangkaian acara pesta pernikahan adat Batak Toba. Dan kemudia acara akan ditutup dengan doa kembali .

Sumber Bacaan :

1. Kamus Batak Online. (n.d.). Kamus Batak Online. Retrieved from https://www.kamusbatak.com/
2.  Radjagoekgoek, M. (2014). Raja Parhata dohot Jambar Hata di Ulaon Paradaton Pardongansaripeon ni Batak Toba (1st ed.). Jakarta: CV. Pinggan Mas.
3. Vergouwen, J. (2004). Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba (1st ed.; F. Mustafid, Ed.). Yogyakarta: PT. LKis Pelangi Aksara.

Sumber Gambar :
**Ulaon Marunjuk, Vergouwen , 1933

Posting Komentar

Silahkan Berikan Komentar Maupun Kritik Yang Membangun Dilarang Meninggalkan Komentar Yang Bersifat Asusila,Narkoba,Mari Hormati Ras,Agama,Dan Budaya.
👋HORAS👋

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak